BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Seperti
diketahui, ekologi merupakan dasar yang fundamental dari ilmu lingkungan. Ruang
lingkup ekologi pada intinya mencakup mengenai pendekatan terhadap ekosistem
serta hubungan antara masing-masing komponen di dalamnya. Akan tetapi,
sebenarnya ekologi merupakan suatu bidang ilmu yang terintegrasi, yang
mempelajari manusia, hewan, dan lingkungannya, termasuk juga permasalahan
pertumbuhan dan dinamika populasi.
Perkembangan
ekologi yang berkaitan dengan dinamika populasi, walau berkembang agak lambat
tetapi cukup konsisten. Dapat dikatakan, walaupun sejak dulu pada waktu-waktu
tertentu orang telah tertarik kepada masalah sensus penduduk, teori-teori
populasi baru berkembang pesat pada abad ke-19.
Konsep-konsep
mengenai analisis kependudukan baru mulai muncul pada abad ke-17 di Inggris.
Pada tahun 1662, Graunt mengemukakan argumentasi mengenai pentingnya data
sensus penduduk untuk menentukan laju kelahiran, kematian, nisbah kelamin (sex ratio) dan struktur umur untuk
mengukur potensi pertumbuhan penduduk.
Selanjutnya,
pada tahun 1756, Buffon mengemukakan bahwa setiap populasi makhluk hidup
mengalami proses yang sama. Di antaranya, walaupun tingkat keperidian
(fertilitas) suatu organisme mungkin sangat tinggi, tetapi bahaya yang
mengancam populasinya juga besar. Lebih jauh, ia mengemukakan bahwa ledakan
populasi yang sewaktu-waktu terjadi pada tikus lapangan, sebagian dapat ditekan
oleh penyakit dan kekurangan makanan. Demikian pula jika tidak terdapat
penyakit yang mengancam populasi kelinci, maka kelimpahan populasi kelinci akan
mengubah setiap padang rumput yang ada di dunia menjadi padang pasir (Tarumingkeng,
1994).
Tahun 1798, pendeta Inggris yang
bernama Thomas Robert Malthus menerbitkan sebuah buku yang berjudul An Essay
on the Principle of Population as It Affects the Future Improvement of Society.
Pokok tesis Malthus ini adalah pemikiran bahwa pertumbuhan penduduk cenderung
melampui pertumbuhan. Malthus menekankan bahwa penduduk cenderung bertumbuh
secara tak terbatas hingga mencapai batas persediaan makanan. Dari kedua bentuk
uraian tesis itu, Malthus berkesimpulan bahwa kuantitas manusia akan
berhubungan dengan masalah kemiskinan dan kelaparan. Dalam jangka panjang,
tidak ada kemajuan teknologi yang dapat mengalihkan keadaan itu karena kenaikan
suplai makanan terbatas, sedangkan pertumbuhan penduduk tidak terbatas.
Malthus
yakin bahwa manusia akan tetap hidup miskin atau melarat selama terjadi
ketidak-seimbangan jumlah penduduk dengan daya dukung lingkungan, khususnya
ketidak-seimbangan jumlah penduduk dengan persediaan bahan makanan. Jumlah
penduduk yang terus bertambah mencerminkan pula makin padat jumlah penduduk
tiap 1 km2, dapat mempercepat eksploitasi sumber daya alam dan
mempersempit persediaan lahan hunian dan lahan pakai. Dengan kata lain jumlah
penduduk yang terus bertambah dan makin padat sangat mengganggu daya dukung dan
daya tampung lingkungan.
Dewasa
ini, masalah pertumbuhan penduduk telah menjadi hal yang krusial bagi umat
manusia. Pertumbuhan penduduk yang amat pesat, jika tidak diimbangi dengan daya
dukung lingkungan yang memadai, dapat menyebabkan berbagai masalah kependudukan
yang pada akhirnya akan berimbas kepada lingkungan hidup.
Permasalahan
mengenai pertumbuhan penduduk yang amat pesat ini sekarang menjadi permasalahan
berbagai negara di dunia, terutama negara yang tergolong dalam negara-negara
berkembang, contohnya Indonesia. Di Indonesia sendiri, tepat di ibukota
Jakarta, terjadi pertumbuhan penduduk yang pesat. Hal itu ditandai dengan kepadatan
penduduk yang tinggi di Jakarta.
Permasalahan
kependudukan di kota Jakarta ini tidak hanya menyebabkan kepadatan penduduknya
tinggi. Pertumbuhan penduduk ini juga memicu timbulnya masalah-masalah lain,
seperti masalah kekurangan lahan, kekurangan pangan, dan berbagai masalah
lainnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan permasalahan dalam makalah
ini adalah sebagai berikut :
1. Apa saja dampak
yang ditimbulkan oleh kepadatan penduduk yang tinggi di kota Jakarta?
2. Bagaimana
hubungan antara teori Malthus dengan kondisi kependudukan kota Jakarta?
3. Bagaimana cara
mengatasi permasalahan kependudukan yang terjadi di kota Jakarta?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini ialah :
1. Untuk mengetahui
dampak kepadatan penduduk yang tinggi di kota Jakarta,
2. Untuk
mengetahui hubungan antara teori Malthus dengan kondisi kependudukan kota
Jakarta, dan
3. Untuk
mengetahui cara mengatasi permasalahan kependudukan yang terjadi di kota
Jakarta.
1.4. Manfaat Penulisan
Penulisan
makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai dampak yang ditimbulkan oleh pertumbuhan penduduk yang
pesat tanpa disertai daya dukung lingkungan. Diharapkan setelah membaca makalah
ini, pembaca dapat berkontribusi untuk mengetahui cara menanggulangi kepadatan
penduduk.
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Daya Dukung Lingkungan
Pembangunan
mempunyai tujuan jangka panjang dalam arti kita tidak hanya membangun untuk
kita, generasi yang sekarang, melainkan juga untuk anak cucu kita. Dalam
hubungan ini patutlah kita renungkan konsep bahwa bumi pada umumnya dan tanah
air Indonesia pada khususnya bukanlah milik kita sebagai warisan yang kita
dapatkan dari nenek moyang kita, melainkan milik anak cucu kita. Kita
berkewajiban untuk mengembalikannya kepada anak cucu kita dalam keadaan yang
baik ditambah dengan bunga sebagai imbalan nikmat yang kita dapatkan selama
hidup kita di bumi ini. (Soemarwoto, 1972)
Haruslah ada jaminan tidak akan
terjadi keambrukan karena lingkungan tidak dapat lagi mendukung pembangunan
itu. Inilah pada hakikatnya pembangunan yang berwawasan lingkungan, pembangunan
itu menaikkan mutu hidup dan sekaligus menjaga dan memperkuat lingkungan untuk
mendukung pembangunan yang berkesinambungan. Daya dukung llingkungan
berkelanjutan ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor biofisik maupun
sosial, budaya dan ekonomi. Kedua kelompok faktor ini saling mempengaruhi.
Faktor biofisik penting yang menentukan daya dukung berkelanjutan ialah proses
ekologi yang merupaan system pendukung kehidupan dan keanekaan jenis yang
merupakan sumber daya gen, misalnya hutan. Faktor sosial budaya juga mempunyai
peranan yang sangat penting bahkan menentukan dalam daya dukung lingkungan.
Sebab akhirnya manusialah yang menentukan apakah pembangunan akan berjalan
terus atau terhenti. Dari sejarah, kita melihat harkat bangsa yang menanjak
mengalami masa jaya dan kemudian menyusul kemerosotan. Sriwijaya dan Majapahit
adalah contoh di negara kita.
2.2 Pola Pertumbuhan
Populasi dan Konsep
Daya Dukung
Populasi mempunyai pola pertumbuhan
yang khas, disebut pola pertumbuhan. Ada dua pola dasar pertumbuhan yaitu:
1. Kurva
pertumbuhan bentuk J
2. Kurva
pertumbuhan bentuk S dan sigmoid
Pola pertumbuhan bentuk J kepadatan
naik dengan cepat secara eksponensial kmudian berhenti mendadak karena hambatan
lingkungan atau faktor pembatas bekerja efektive secara mandadak. Pola
pertumbuhan populasi bentuk S mula-mula naik secara lambat kemudian menjadi
cepat kemudian lambat kembali setelah hambatan lingkungan mulai bekerja dan
akhirnya hampir seimbang. Batas atas di mana tidak ada pertumbuhan lagi
merupakan asimptot dari kurva S yang biasa disebut daya dukung lingkungan (carrying capacity) atau daya topang (Heddy
dan Kurniati,
1994).
2.3.Teori Malthus
Malthus mengatakan bahwa kuantitas manusia akan kejeblos ke
dalam rawa-rawa kemiskinan dan berada ditubir kelaparan. Dalam jangka panjang,
tak ada kemajuan teknologi yang dapat mengalihkan keadaan itu, karena kenaikan
suplai makanan terbatas, sedangkan "pertumbuhan penduduk tak terbatas, dan
bumi tak mampu memprodusir makanan buat menjaga eksistensi manusia" (Hart, 1979).
Malthus
memperkirakan dimasa yang akan datang umat manusia akan kekurangan pangan
akibat semakin meledaknya jumlah penduduk di dunia, namun banyak kalangan
berpendapat bahwa teori Malthus ini banyak memiliki kelemahan, dan
kemungkinannya sangat kecil untuk terjadi. Menurut Todaro, Malthus melupakan
atau tidak memperhitungkan begitu besarnya dampak kemajuan teknologi dalam
mengimbangi berbagai kekuatan negatif yang bersumber dari ledakan pertambahan
penduduk. Asumsi Malthus mengenai ketersediaan lahan yang terbatas memang
benar, tetapi ia tidak (pada waktu itu memang sulit untuk dibayangkan)
memperhitungkan bahwa kemajuan teknologi dapat meningkatkan kualitas atau
produksi tanah; artinya, dari tanah yang kuantitas atau luasnya tetap, manusia
bisa memperoleh hasil yang jauh lebih banyak berkat kemajuan teknologi.
Teori Malthus
juga
menyatakan bahwa populasi
manusia bertambah lebih cepat daripada produksi makanan, sehingga menyebabkan
manusia bersaing satu sama lain untuk memperebutkan makanan dan menjadikan
perbuatan amal sia-sia. Analisis-analisis pemikiran malthus adalah sebagai
berikut: Keseimbangan penduduk
dengan daya dukung dan daya tampung sudah dipersoalkan sejak dahulu oleh para
filosof Cina, Yunani dan Arab, seperti Confucius, Plato, Aristoteles maupun
Kalden. Bencana kelaparan (famine),
dan kematian langsung dikaitkan dengan faktor ketidak-seimbangan jumlah
penduduk dengan potensi lingkungan alam, khusus penyediaan bahan makanan. (Babas, 2009)
2.4.Kepadatan Penduduk
Kepadatan merupakan masalah bagi setiap negara di dunia terutama
negara-negara berkembang umumnya, dan Indonesia khususnya. Pertambahan
penduduk secara besar-besaran mengakibatkan berbagai masalah. Seperti kurangnya
lapangan pekerjaan yang mengakibatkan peningkatan kejahatan. Selain itu
kepadatan menurut sebuah survey turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan
agresivitas.
Kepadatan memiliki arti hasil bagi jumlah objek terhadap luas
daerah. Dengan demikian satuan yang digunakan adalah satuan/luas daerah.
Sedangkan ada yang berpendapat bahwa kepadatan adalah jumlah rata-rata
penduduk yang mendiami suatu wilayah administrative atau politis tertentu, biasanya
dinyatakan dalam jiwa/km2.
Adapun kepadatan memiliki kategori-kategori. Manurut Altman (1975),
variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Dan
variasinya adalah sebagai berikut:
1.
Jumlah Individu dalam sebuah kota: Semakin tinggi angka kelahiran dibanding
kematian, serta angka penduduk yang masuk dari pada penduduk yang keluar,
dapat disimpulkan bahwa kota tersebut padat.
2.
Jumlah individu dalam jumlah sensus
3.
Jumlah individu pada unit tempat tinggal: artinya semakin banyak anggota
keluarga dalam satu rumah di suatu daerah. Semakin padat pula daerah tersebut
4.
Jumlah ruangan pada unit tempat tinggal
5.
Jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain – lain.
Sedangkan Hollahan membagi kategori kepadatan menjadi dua:
1.
Kepadatan spasial: Yaitu saat suatu bangunan mengalamii penyempitan walaupun
jumlah penduduknya atau penghuninya tetap. Sehingga kepadatan meningkat sejalan
dengan menurunnya besar ruangan
2.
Kepadatan social: Yaitu diamana suatu keadaan yang tidak ada penyempitan
ruangan, namun penduduk atau penghuninya bertambah dan tidak diikuti dengan
pembesaran ruangan (Widianto, 2011).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Studi
Kasus pada Kota Jakarta
Pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini mencapai 1,49 persen.
Dengan pertumbuhan tetap saja, hal itu akan membawa konsekuensi kebutuhan beras
Indonesia pada 2035 mencapai 47,84 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan beras
itu, diperlukan penambahan 5,3 juta hektar sawah baru dari 13 juta hektar sawah
yang ada sekarang.
Mengacu pada data Badan Pertanahan Nasional, pencetakan sawah baru
tidak mudah dilakukan. Selama 1994-2004, luas sawah di Jawa berkurang 36.798
hektar atau rata-rata 3.679 hektar per tahun. Artinya, setiap hari 10 hektar
sawah berubah fungsi. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air
Kementerian Pertanian menyebutkan, pengurangan luas panen di Jawa pada
2009-2010 mencapai 60.652 hektar. Namun, di luar Jawa justru terjadi penambahan
16.366 hektar luas panen. Hal itu berarti perluasan sawah sudah tidak mungkin
dilakukan di Jawa. Padahal, produktivitas sawah di Jawa lebih besar 1,5 kali
dari produktivitas sawah di luar Jawa. Pada 2007, Jawa menyumbang 53,3 persen
kebutuhan beras nasional meski luas sawahnya hanya 46,7 persen. Karena itu, perluasan
sawah harus segera dilakukan di luar Jawa. Setiap hektar sawah di Jawa yang
hilang harus diganti dengan 1,5 hektar sawah di luar Jawa. Jika tidak, ancaman
krisis pangan nasional sudah di depan mata.
Tingginya jumlah dan kepadatan penduduk membuat lingkungan Pulau
Jawa mengalami tekanan hebat. Lahan yang ada tak mampu menyediakan segala
kebutuhan penduduk di atasnya. Selain akan mengurangi kualitas hidup warganya,
bencana lingkungan akibat ulah manusia, seperti banjir dan tanah longsor, juga
akan semakin sering terjadi. Dalam waktu 80 tahun, penduduk di Jawa naik lebih
dari tiga kali lipat. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah penduduk
di Jawa, yang hanya 41,9 juta jiwa pada 1930, melonjak jadi 136,6 juta jiwa
pada 2010. Padahal, luas Jawa yang hanya 6,79 persen dari luas daratan
Indonesia tidak pernah bertambah.
Jawa menjadi pulau berkepadatan penduduk tinggi, 984 jiwa per
kilometer persegi atau hampir delapan kali lipat kepadatan rata-rata Indonesia.
Bahkan, kepadatan Jakarta mencapai 14.440 orang per kilometer persegi dan masuk
dalam 17 kota terpadat di dunia. Berdasarkan hal tersebut,
dapat dikatakan daya dukung lingkungan di kota Jakarta sudah melampaui batas. Lonjakan jumlah
penduduk dan pola pembangunan wilayah yang bersifat horizontal memaksa alih
fungsi lahan, baik sawah maupun hutan, untuk memenuhi kebutuhan akan tempat
tinggal dan industri.
3.2. Hubungan Teori Malthus dengan Kepadatan Penduduk
Teori Malthus menyatakan bahwa
populasi manusia bertambah lebih cepat daripada produksi makanan, sehingga
menyebabkan manusia bersaing satu sama lain untuk memperebutkan makanan dan
menjadikan perbuatan amal sia-sia. Keseimbangan penduduk dengan daya dukung dan
daya tampung sudah dipersoalkan sejak dahulu oleh para filosof Cina, Yunani, dan Arab, seperti
Confucius, Plato, Aristoteles maupun Kalden. Bencana kelaparan (famine), dan
kematian langsung dikaitkan dengan faktor ketidak-seimbangan jumlah penduduk
dengan potensi lingkungan alam, khusus penyediaan bahan makanan.
Teori Malthus jelas menekankan tentang pentingnya keseimbangan
pertambahan jumlah penduduk menurut deret ukur terhadap persediaan bahan
makanan menurut deret hitung. Teori Malthus tersebut sebetulnya sudah
mempersoalkan daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan. Tanah sebagai
suatu komponen lingkungan alam tidak mampu menyediakan hasil pertanian untuk
mencukupi kebutuhan jumlah penduduk yang terus bertambah dan makin banyak. Daya
dukung tanah sebagai komponen lingkungan menurun, karena beban manusia yang
makin banyak. Jumlah penduduk yang terus bertambah mencerminkan pula makin
padat jumlah penduduk tiap 1 km2, dapat mempercepat eksploitasi
sumber daya alam dan mempersempit persediaan lahan hunian dan lahan pakai.
Dengan kata lain jumlah penduduk yang terus bertambah dan makin padat sangat
mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jumlah penduduk harus
seimbang dengan batas ambang lingkungan, agar tidak menjadi beban lingkungan
atau mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan, dengan menampakkan
bencana alam berupa banjir, kekeringan, gagal panen, kelaparan, wabah penyakit
dan kematian.
Kelahiran dan kematian sebagai peristiwa-peristiwa vital mengatur
keseimbangan penduduk dengan potensi alamnya. Makin padat jumlah penduduk dalam
jangka pendek, jangka sedang atau jangka panjang akan mengganggu daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup. Di daerah-daerah padat penduduk gangguan
keseimbangan lingkungan (daya dukung dan daya tampung) disebabkan oleh
permintaan yang makin meningkat terhadap berbagai potensi lingkungan, walaupun
konsumsi perkapita rendah. Jumlah penduduk yang terus bertambah mencerminkan
pula makin padat jumlah penduduk tiap 1 km2, dapat mempercepat
eksploitasi sumber daya alam dan mempersempit persediaan lahan hunian dan lahan pakai.
Dengan kata lain jumlah penduduk yang terus bertambah dan makin padat sangat
mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jumlah penduduk harus
seimbang dengan batas ambang lingkungan, agar tidak menjadi beban lingkungan
atau mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan, dengan menampakkan
bencana alam berupa banjir, kekeringan, gagal panen, kelaparan, wabah penyakit
dan kematian. Kelahiran dan kematian sebagai peristiwa-peristiwa vital mengatur
keseimbangan penduduk dengan potensi alamnya. Makin padat jumlah penduduk dalam
jangka pendek, jangka sedang atau jangka panjang akan mengganggu daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup. Di daerah-daerah padat penduduk gangguan
keseimbangan lingkungan (daya dukung dan daya tampung) disebabkan oleh
permintaan yang makin meningkat terhadap berbagai potensi lingkungan, walaupun
konsumsi perkapita rendah.
3.3. Dampak Daya Dukung Lingkungan
Sebagai makhluk hidup, manusia selalu berinteraksi dengan
lingkungannya. Interaksi tersebut akan terganggu apabila daya dukung lingkungan
yang tersedia bagi manusia sudah mencapai ambang batas. Hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ekologi. Ketidakseimbangan ekologi terjadi akibat jumlah
penduduk melebihi kapasitas yang tersedia, sehingga menyebabkan dampak-dampak
yang akan dibahas dalam penjelasan berikut ini.
a. Dampak Lingkungan
Penggunaan tanah mendominasi untuk permukiman penduduk (settlement), dibandingkan lahan unutk bertani atau perkebunan. Dengan kata lain, lahan lebih banyak digunakan untuk kawasan permukiman daripada untuk lahan
produksi yang dapat digunakan untuk memproduksi makanan pokok masyarakat.
Kondisi yang demikian ini semakin diperparah Kota Jakarta sebagai pusat kota, sehingga banyak
migran yang berduyun-duyun mendatangi kota tersebut. Para migran telah menciptakan
kawasan yang kumuh untuk dijadikan sebagai lahan permukiman Kawasan permukiman
yang kumuh dan berdesakan, dapat menjadi ancaman kesehatan yang cukup serius.
Hal ini disebabkan oleh kurang layaknya lingkungan dan sanitasi yang tercipta sehingga
menjadi tempat berkembangbiaknya penyakit yang menular. Efek lain yang jarang
diperhitungkan yaitu meningkatnya biaya pembangunan kesehatan yang harus
dikeluarkan pemerintah dalam rangka penanggulangannya. Dampak lingkungan lain
yang terjadi akibat masalah ledakan penduduk tersebut adalah polusi.
Tingkat polusi bergerak naik seiring dengan semakin bertambahnya jumlah
penduduk di suatu area permukiman. Polusi ditimbulkan dari asap hasil
pembuangan kendaraan bermotor yang jumlahnya saat ini semakin meningkat tajam.
Hal ini terlihat dari semakin tingginya frekuensi kemacetan yang terjadi di jalan-jalan. Penanganan sampah yang
tidak pernah dapat terselesaikan juga merupakan sumber polusi yang membahayakan
kesehatan masyarakat. Apa pun bentuknya, polusi memiliki efek yang sangat besar bagi
kehidupan manusia. dapat menimbulkan penyakit sistem pernapasan. Dalam jangka
panjang kondisi lingkungan seperti ini akan berpengaruh secara signifikan baik
kepada kesehatan, maupun sikap dan perilaku masyarakat.
b. Dampak Sosial
Keterbatasan ruang, saling dempet, himpit, rebut, kesemerawutan
adalah sebagai akibat kelebihan beban (overload), kelebihan beban
berbanding searah dengan tekanan (pressure) yang akan ditimbulkannya. Namun, jika tekanan melampaui
batas ambang toleransi, dapat menimbulkan frustasi yang diwujudkan dalam bentuk
berbagai macam kerawanan sosial. Seperti mudahnya terjadi konflik, meningkatnya
angka kriminalitas, tindakan anarkis. Semua itu dikarenakan terbatasnya
ketersediaan berbagai sumberdaya (resources availability) yang
berbanding terbalik dengan jumlah pengguna dan pemakai, menimbulkan berbagai
cara kompetisi untuk mendapatkannya. Berbagai cara ditempuh hanya untuk bertahan hidup, sepertinya menjamurnya pedagang kaki lima hampir di setiap
sudut kota, menggelar dagangan tanpa mengindahkan perda. Kerawanan sosial
lainnya adalah sebagai akibat terjadinya ketidakseimbangan antara keterbatasan
dan kemampuan kompetensi, akhirnya menimbulkan frustasi dan distorsi pada norma
kehidupan di masyarakat. Hal ini ditandai dengan tingginya angka pengguna
narkoba.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dampak dari kepadatan penduduk
di kota Jakarta antara lain adalah munculnya masalah kekurangan lahan
penghijauan kota, kekurangan pangan, polusi udara, polusi air (terutama polusi
air sungai) dan berbagai masalah lainnya.
Teori Malthus
menyatakan bahwa populasi manusia bertambah lebih
cepat daripada produksi makanan, sehingga menyebabkan manusia bersaing satu
sama lain untuk memperebutkan makanan.
Sehingga semakin bertambahnya populasi maka semakin meningkatnya persaingan
untuk memenuhi kebutuhan, sedangkan produksi pangan yang tersedia tidak
seimbang dengan laju pertambahan penduduk.
Cara mengatasi kepadatan penduduk di
kota Jakarta dapat dilaksanakan dengan cara menekan pertumbuhan penduduk salah
satunya merencanakan program KB, yang dilaksanakan bukan hanya oleh pemerintah
tetapi masyarakat juga berpengaruh penting terhadap berjalannya program
tersebut. Juga dapat dilakukan dengan progran Transmigrasi
4.2 Saran
Sebaiknya masalah
kepadatan penduduk yang berdampak pada daya dukung lingkungan, dapat
diselesaikan dengan keikutsertaan semua kalangan dan kesadaran masyarakat akan
kelestarian lingkungan kota.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Kajian Teori Malthus terhadap Populasi dan Pangan. http://mm08.student.ipb.ac.id/2010/06/20/kajian-teori-malthus-terhadap-populasi-dan-pangan-studi-kelembagaan-di-banjarmasin-kalimantan-selatan.html (tanggal akses 12 Maret
2011).
Widiyanto, Dwi I. 2011. Kepadatan. http://psikologikelompok.wordpress.com/2011/03/08/kepadatan.html
Babas. 2009. Teori
Malthus. http://www.ba2s-breeder.blogspot.com/2009/06/teori-malthus.html
(tanggal akses 12 Maret 2011)
Asbar, Ichrar. 2011. Diktat Ilmu Lingkungan. Samarinda : Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mulawarman.
Soermarwoto, Otto. 1997. Ekologi
Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta : Djambatan.
Suwasono, Heddy. 1994. Prinsip-Prinsip
Dasar Ekologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Tarumingkeng, Rudi. 1994. Dinamika Populasi : Analisis Ekologi
Kuantitatif. Jakarta : Universitas
Krida Mandala Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar