Selasa, 29 Mei 2012

ILMU LINGKUNGAN


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
            Seperti diketahui, ekologi merupakan dasar yang fundamental dari ilmu lingkungan. Ruang lingkup ekologi pada intinya mencakup mengenai pendekatan terhadap ekosistem serta hubungan antara masing-masing komponen di dalamnya. Akan tetapi, sebenarnya ekologi merupakan suatu bidang ilmu yang terintegrasi, yang mempelajari manusia, hewan, dan lingkungannya, termasuk juga permasalahan pertumbuhan dan dinamika populasi.
            Perkembangan ekologi yang berkaitan dengan dinamika populasi, walau berkembang agak lambat tetapi cukup konsisten. Dapat dikatakan, walaupun sejak dulu pada waktu-waktu tertentu orang telah tertarik kepada masalah sensus penduduk, teori-teori populasi baru berkembang pesat pada abad ke-19.
            Konsep-konsep mengenai analisis kependudukan baru mulai muncul pada abad ke-17 di Inggris. Pada tahun 1662, Graunt mengemukakan argumentasi mengenai pentingnya data sensus penduduk untuk menentukan laju kelahiran, kematian, nisbah kelamin (sex ratio) dan struktur umur untuk mengukur potensi pertumbuhan penduduk.
            Selanjutnya, pada tahun 1756, Buffon mengemukakan bahwa setiap populasi makhluk hidup mengalami proses yang sama. Di antaranya, walaupun tingkat keperidian (fertilitas) suatu organisme mungkin sangat tinggi, tetapi bahaya yang mengancam populasinya juga besar. Lebih jauh, ia mengemukakan bahwa ledakan populasi yang sewaktu-waktu terjadi pada tikus lapangan, sebagian dapat ditekan oleh penyakit dan kekurangan makanan. Demikian pula jika tidak terdapat penyakit yang mengancam populasi kelinci, maka kelimpahan populasi kelinci akan mengubah setiap padang rumput yang ada di dunia menjadi padang pasir (Tarumingkeng, 1994).
            Tahun 1798, pendeta Inggris yang bernama Thomas Robert Malthus menerbitkan sebuah buku yang berjudul An Essay on the Principle of Population as It Affects the Future Improvement of Society. Pokok tesis Malthus ini adalah pemikiran bahwa pertumbuhan penduduk cenderung melampui pertumbuhan. Malthus menekankan bahwa penduduk cenderung bertumbuh secara tak terbatas hingga mencapai batas persediaan makanan. Dari kedua bentuk uraian tesis itu, Malthus berkesimpulan bahwa kuantitas manusia akan berhubungan dengan masalah kemiskinan dan kelaparan. Dalam jangka panjang, tidak ada kemajuan teknologi yang dapat mengalihkan keadaan itu karena kenaikan suplai makanan terbatas, sedangkan pertumbuhan penduduk tidak terbatas.
            Malthus yakin bahwa manusia akan tetap hidup miskin atau melarat selama terjadi ketidak-seimbangan jumlah penduduk dengan daya dukung lingkungan, khususnya ketidak-seimbangan jumlah penduduk dengan persediaan bahan makanan. Jumlah penduduk yang terus bertambah mencerminkan pula makin padat jumlah penduduk tiap 1 km2, dapat mempercepat eksploitasi sumber daya alam dan mempersempit persediaan lahan hunian dan lahan pakai. Dengan kata lain jumlah penduduk yang terus bertambah dan makin padat sangat mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan.
            Dewasa ini, masalah pertumbuhan penduduk telah menjadi hal yang krusial bagi umat manusia. Pertumbuhan penduduk yang amat pesat, jika tidak diimbangi dengan daya dukung lingkungan yang memadai, dapat menyebabkan berbagai masalah kependudukan yang pada akhirnya akan berimbas kepada lingkungan hidup.
            Permasalahan mengenai pertumbuhan penduduk yang amat pesat ini sekarang menjadi permasalahan berbagai negara di dunia, terutama negara yang tergolong dalam negara-negara berkembang, contohnya Indonesia. Di Indonesia sendiri, tepat di ibukota Jakarta, terjadi pertumbuhan penduduk yang pesat. Hal itu ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi di Jakarta.
            Permasalahan kependudukan di kota Jakarta ini tidak hanya menyebabkan kepadatan penduduknya tinggi. Pertumbuhan penduduk ini juga memicu timbulnya masalah-masalah lain, seperti masalah kekurangan lahan, kekurangan pangan, dan berbagai masalah lainnya.
1.2. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa saja dampak yang ditimbulkan oleh kepadatan penduduk yang tinggi di kota Jakarta?
2.      Bagaimana hubungan antara teori Malthus dengan kondisi kependudukan kota Jakarta?
3.      Bagaimana cara mengatasi permasalahan kependudukan yang terjadi di kota Jakarta?
1.3. Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah :
1.      Untuk mengetahui dampak kepadatan penduduk yang tinggi di kota Jakarta,
2.      Untuk mengetahui hubungan antara teori Malthus dengan kondisi kependudukan kota Jakarta, dan
3.      Untuk mengetahui cara mengatasi permasalahan kependudukan yang terjadi di kota Jakarta.
1.4. Manfaat Penulisan
            Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dampak yang ditimbulkan oleh pertumbuhan penduduk yang pesat tanpa disertai daya dukung lingkungan. Diharapkan setelah membaca makalah ini, pembaca dapat berkontribusi untuk mengetahui cara menanggulangi kepadatan penduduk.
           

BAB II
DASAR TEORI

2.1 Daya Dukung Lingkungan
            Pembangunan mempunyai tujuan jangka panjang dalam arti kita tidak hanya membangun untuk kita, generasi yang sekarang, melainkan juga untuk anak cucu kita. Dalam hubungan ini patutlah kita renungkan konsep bahwa bumi pada umumnya dan tanah air Indonesia pada khususnya bukanlah milik kita sebagai warisan yang kita dapatkan dari nenek moyang kita, melainkan milik anak cucu kita. Kita berkewajiban untuk mengembalikannya kepada anak cucu kita dalam keadaan yang baik ditambah dengan bunga sebagai imbalan nikmat yang kita dapatkan selama hidup kita di bumi ini. (Soemarwoto, 1972)

            Haruslah ada jaminan tidak akan terjadi keambrukan karena lingkungan tidak dapat lagi mendukung pembangunan itu. Inilah pada hakikatnya pembangunan yang berwawasan lingkungan, pembangunan itu menaikkan mutu hidup dan sekaligus menjaga dan memperkuat lingkungan untuk mendukung pembangunan yang berkesinambungan. Daya dukung llingkungan berkelanjutan ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor biofisik maupun sosial, budaya dan ekonomi. Kedua kelompok faktor ini saling mempengaruhi. Faktor biofisik penting yang menentukan daya dukung berkelanjutan ialah proses ekologi yang merupaan system pendukung kehidupan dan keanekaan jenis yang merupakan sumber daya gen, misalnya hutan. Faktor sosial budaya juga mempunyai peranan yang sangat penting bahkan menentukan dalam daya dukung lingkungan. Sebab akhirnya manusialah yang menentukan apakah pembangunan akan berjalan terus atau terhenti. Dari sejarah, kita melihat harkat bangsa yang menanjak mengalami masa jaya dan kemudian menyusul kemerosotan. Sriwijaya dan Majapahit adalah contoh di negara kita.

2.2 Pola Pertumbuhan Populasi dan Konsep Daya Dukung
            Populasi mempunyai pola pertumbuhan yang khas, disebut pola pertumbuhan. Ada dua pola dasar pertumbuhan yaitu:
1.      Kurva pertumbuhan bentuk J
2.      Kurva pertumbuhan bentuk S dan sigmoid
            Pola pertumbuhan bentuk J kepadatan naik dengan cepat secara eksponensial kmudian berhenti mendadak karena hambatan lingkungan atau faktor pembatas bekerja efektive secara mandadak. Pola pertumbuhan populasi bentuk S mula-mula naik secara lambat kemudian menjadi cepat kemudian lambat kembali setelah hambatan lingkungan mulai bekerja dan akhirnya hampir seimbang. Batas atas di mana tidak ada pertumbuhan lagi merupakan asimptot dari kurva S yang biasa disebut daya dukung lingkungan (carrying capacity) atau daya topang (Heddy dan Kurniati, 1994).
2.3.Teori Malthus
Malthus mengatakan bahwa kuantitas manusia akan kejeblos ke dalam rawa-rawa kemiskinan dan berada ditubir kelaparan. Dalam jangka panjang, tak ada kemajuan teknologi yang dapat mengalihkan keadaan itu, karena kenaikan suplai makanan terbatas, sedangkan "pertumbuhan penduduk tak terbatas, dan bumi tak mampu memprodusir makanan buat menjaga eksistensi manusia" (Hart,  1979).
Malthus memperkirakan dimasa yang akan datang umat manusia akan kekurangan pangan akibat semakin meledaknya jumlah penduduk di dunia, namun banyak kalangan berpendapat bahwa teori Malthus ini banyak memiliki kelemahan, dan kemungkinannya sangat kecil untuk terjadi. Menurut Todaro, Malthus melupakan atau tidak memperhitungkan begitu besarnya dampak kemajuan teknologi dalam mengimbangi berbagai kekuatan negatif yang bersumber dari ledakan pertambahan penduduk. Asumsi Malthus mengenai ketersediaan lahan yang terbatas memang benar, tetapi ia tidak (pada waktu itu memang sulit untuk dibayangkan) memperhitungkan bahwa kemajuan teknologi dapat meningkatkan kualitas atau produksi tanah; artinya, dari tanah yang kuantitas atau luasnya tetap, manusia bisa memperoleh hasil yang jauh lebih banyak berkat kemajuan teknologi.
Teori Malthus juga menyatakan bahwa populasi manusia bertambah lebih cepat daripada produksi makanan, sehingga menyebabkan manusia bersaing satu sama lain untuk memperebutkan makanan dan menjadikan perbuatan amal sia-sia. Analisis-analisis pemikiran malthus adalah sebagai berikut: Keseimbangan penduduk dengan daya dukung dan daya tampung sudah dipersoalkan sejak dahulu oleh para filosof Cina, Yunani dan Arab, seperti Confucius, Plato, Aristoteles maupun Kalden. Bencana kelaparan (famine), dan kematian langsung dikaitkan dengan faktor ketidak-seimbangan jumlah penduduk dengan potensi lingkungan alam, khusus penyediaan bahan makanan. (Babas, 2009)
2.4.Kepadatan Penduduk
Kepadatan merupakan masalah bagi setiap negara di dunia terutama negara-negara berkembang umumnya, dan Indonesia khususnya.  Pertambahan penduduk secara besar-besaran mengakibatkan berbagai masalah. Seperti kurangnya lapangan pekerjaan yang mengakibatkan peningkatan kejahatan. Selain itu kepadatan menurut sebuah survey turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan agresivitas.
Kepadatan memiliki arti hasil bagi jumlah objek terhadap luas daerah. Dengan demikian satuan yang digunakan adalah satuan/luas daerah.  Sedangkan ada yang berpendapat bahwa kepadatan adalah jumlah rata-rata penduduk yang mendiami suatu wilayah administrative atau politis tertentu, biasanya dinyatakan dalam jiwa/km2.
Adapun kepadatan memiliki kategori-kategori. Manurut Altman (1975), variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Dan variasinya adalah sebagai berikut:
1.      Jumlah Individu dalam sebuah kota: Semakin tinggi angka kelahiran dibanding kematian,  serta angka penduduk yang masuk dari pada penduduk yang keluar, dapat disimpulkan bahwa kota tersebut padat.
2.      Jumlah individu dalam jumlah sensus
3.      Jumlah individu pada unit tempat tinggal: artinya semakin banyak anggota keluarga dalam satu rumah di suatu daerah. Semakin padat pula daerah tersebut
4.      Jumlah ruangan pada unit tempat tinggal
5.      Jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain – lain.
Sedangkan Hollahan membagi kategori kepadatan menjadi dua:
1.      Kepadatan spasial: Yaitu saat suatu bangunan mengalamii penyempitan walaupun jumlah penduduknya atau penghuninya tetap. Sehingga kepadatan meningkat sejalan dengan menurunnya besar ruangan
2.      Kepadatan social: Yaitu diamana suatu keadaan yang tidak ada penyempitan ruangan, namun penduduk atau penghuninya bertambah dan tidak diikuti dengan pembesaran ruangan (Widianto, 2011).


BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Studi Kasus pada Kota Jakarta
Pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini mencapai 1,49 persen. Dengan pertumbuhan tetap saja, hal itu akan membawa konsekuensi kebutuhan beras Indonesia pada 2035 mencapai 47,84 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan beras itu, diperlukan penambahan 5,3 juta hektar sawah baru dari 13 juta hektar sawah yang ada sekarang.
Mengacu pada data Badan Pertanahan Nasional, pencetakan sawah baru tidak mudah dilakukan. Selama 1994-2004, luas sawah di Jawa berkurang 36.798 hektar atau rata-rata 3.679 hektar per tahun. Artinya, setiap hari 10 hektar sawah berubah fungsi. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Kementerian Pertanian menyebutkan, pengurangan luas panen di Jawa pada 2009-2010 mencapai 60.652 hektar. Namun, di luar Jawa justru terjadi penambahan 16.366 hektar luas panen. Hal itu berarti perluasan sawah sudah tidak mungkin dilakukan di Jawa. Padahal, produktivitas sawah di Jawa lebih besar 1,5 kali dari produktivitas sawah di luar Jawa. Pada 2007, Jawa menyumbang 53,3 persen kebutuhan beras nasional meski luas sawahnya hanya 46,7 persen. Karena itu, perluasan sawah harus segera dilakukan di luar Jawa. Setiap hektar sawah di Jawa yang hilang harus diganti dengan 1,5 hektar sawah di luar Jawa. Jika tidak, ancaman krisis pangan nasional sudah di depan mata.
Tingginya jumlah dan kepadatan penduduk membuat lingkungan Pulau Jawa mengalami tekanan hebat. Lahan yang ada tak mampu menyediakan segala kebutuhan penduduk di atasnya. Selain akan mengurangi kualitas hidup warganya, bencana lingkungan akibat ulah manusia, seperti banjir dan tanah longsor, juga akan semakin sering terjadi. Dalam waktu 80 tahun, penduduk di Jawa naik lebih dari tiga kali lipat. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah penduduk di Jawa, yang hanya 41,9 juta jiwa pada 1930, melonjak jadi 136,6 juta jiwa pada 2010. Padahal, luas Jawa yang hanya 6,79 persen dari luas daratan Indonesia tidak pernah bertambah.
Jawa menjadi pulau berkepadatan penduduk tinggi, 984 jiwa per kilometer persegi atau hampir delapan kali lipat kepadatan rata-rata Indonesia. Bahkan, kepadatan Jakarta mencapai 14.440 orang per kilometer persegi dan masuk dalam 17 kota terpadat di dunia. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan daya dukung lingkungan di kota Jakarta sudah melampaui batas. Lonjakan jumlah penduduk dan pola pembangunan wilayah yang bersifat horizontal memaksa alih fungsi lahan, baik sawah maupun hutan, untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal dan industri.

3.2. Hubungan Teori Malthus dengan Kepadatan Penduduk
Teori Malthus menyatakan bahwa populasi manusia bertambah lebih cepat daripada produksi makanan, sehingga menyebabkan manusia bersaing satu sama lain untuk memperebutkan makanan dan menjadikan perbuatan amal sia-sia. Keseimbangan penduduk dengan daya dukung dan daya tampung sudah dipersoalkan sejak dahulu oleh para filosof Cina, Yunani, dan Arab, seperti Confucius, Plato, Aristoteles maupun Kalden. Bencana kelaparan (famine), dan kematian langsung dikaitkan dengan faktor ketidak-seimbangan jumlah penduduk dengan potensi lingkungan alam, khusus penyediaan bahan makanan.
Teori Malthus jelas menekankan tentang pentingnya keseimbangan pertambahan jumlah penduduk menurut deret ukur terhadap persediaan bahan makanan menurut deret hitung. Teori Malthus tersebut sebetulnya sudah mempersoalkan daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan. Tanah sebagai suatu komponen lingkungan alam tidak mampu menyediakan hasil pertanian untuk mencukupi kebutuhan jumlah penduduk yang terus bertambah dan makin banyak. Daya dukung tanah sebagai komponen lingkungan menurun, karena beban manusia yang makin banyak. Jumlah penduduk yang terus bertambah mencerminkan pula makin padat jumlah penduduk tiap 1 km2, dapat mempercepat eksploitasi sumber daya alam dan mempersempit persediaan lahan hunian dan lahan pakai. Dengan kata lain jumlah penduduk yang terus bertambah dan makin padat sangat mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jumlah penduduk harus seimbang dengan batas ambang lingkungan, agar tidak menjadi beban lingkungan atau mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan, dengan menampakkan bencana alam berupa banjir, kekeringan, gagal panen, kelaparan, wabah penyakit dan kematian.
Kelahiran dan kematian sebagai peristiwa-peristiwa vital mengatur keseimbangan penduduk dengan potensi alamnya. Makin padat jumlah penduduk dalam jangka pendek, jangka sedang atau jangka panjang akan mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Di daerah-daerah padat penduduk gangguan keseimbangan lingkungan (daya dukung dan daya tampung) disebabkan oleh permintaan yang makin meningkat terhadap berbagai potensi lingkungan, walaupun konsumsi perkapita rendah. Jumlah penduduk yang terus bertambah mencerminkan pula makin padat jumlah penduduk tiap 1 km2, dapat mempercepat eksploitasi sumber daya alam dan mempersempit persediaan lahan hunian dan lahan pakai. Dengan kata lain jumlah penduduk yang terus bertambah dan makin padat sangat mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jumlah penduduk harus seimbang dengan batas ambang lingkungan, agar tidak menjadi beban lingkungan atau mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan, dengan menampakkan bencana alam berupa banjir, kekeringan, gagal panen, kelaparan, wabah penyakit dan kematian. Kelahiran dan kematian sebagai peristiwa-peristiwa vital mengatur keseimbangan penduduk dengan potensi alamnya. Makin padat jumlah penduduk dalam jangka pendek, jangka sedang atau jangka panjang akan mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Di daerah-daerah padat penduduk gangguan keseimbangan lingkungan (daya dukung dan daya tampung) disebabkan oleh permintaan yang makin meningkat terhadap berbagai potensi lingkungan, walaupun konsumsi perkapita rendah.

3.3. Dampak Daya Dukung Lingkungan
Sebagai makhluk hidup, manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi tersebut akan terganggu apabila daya dukung lingkungan yang tersedia bagi manusia sudah mencapai ambang batas. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ekologi. Ketidakseimbangan ekologi terjadi akibat jumlah penduduk melebihi kapasitas yang tersedia, sehingga menyebabkan dampak-dampak yang akan dibahas dalam penjelasan berikut ini.
a.     Dampak Lingkungan
Penggunaan tanah mendominasi untuk permukiman penduduk (settlement), dibandingkan lahan unutk bertani atau perkebunan. Dengan kata lain, lahan lebih banyak digunakan untuk kawasan permukiman daripada untuk lahan produksi yang dapat digunakan untuk memproduksi makanan pokok masyarakat. Kondisi yang demikian ini semakin diperparah Kota Jakarta sebagai pusat kota, sehingga banyak migran yang berduyun-duyun mendatangi kota tersebut. Para migran telah menciptakan kawasan yang kumuh untuk dijadikan sebagai lahan permukiman Kawasan permukiman yang kumuh dan berdesakan, dapat menjadi ancaman kesehatan yang cukup serius. Hal ini disebabkan oleh kurang layaknya lingkungan dan sanitasi yang tercipta sehingga menjadi tempat berkembangbiaknya penyakit yang menular. Efek lain yang jarang diperhitungkan yaitu meningkatnya biaya pembangunan kesehatan yang harus dikeluarkan pemerintah dalam rangka penanggulangannya. Dampak lingkungan lain yang terjadi akibat masalah ledakan penduduk tersebut  adalah polusi. Tingkat polusi bergerak naik seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk  di suatu area permukiman. Polusi ditimbulkan dari asap hasil pembuangan kendaraan bermotor yang jumlahnya saat ini semakin meningkat tajam. Hal ini terlihat dari semakin tingginya frekuensi kemacetan yang terjadi di jalan-jalan. Penanganan sampah yang tidak pernah dapat terselesaikan juga merupakan sumber polusi yang membahayakan kesehatan masyarakat. Apa pun bentuknya, polusi memiliki efek yang sangat besar bagi kehidupan manusia. dapat menimbulkan penyakit sistem pernapasan. Dalam jangka panjang kondisi lingkungan seperti ini akan berpengaruh secara signifikan baik kepada kesehatan, maupun sikap dan perilaku masyarakat.
b. Dampak Sosial                                               
Keterbatasan ruang, saling dempet, himpit, rebut, kesemerawutan adalah sebagai akibat kelebihan beban (overload), kelebihan beban berbanding searah dengan tekanan (pressure) yang akan ditimbulkannya. Namun, jika tekanan melampaui batas ambang toleransi, dapat menimbulkan frustasi yang diwujudkan dalam bentuk berbagai macam kerawanan sosial. Seperti mudahnya terjadi konflik, meningkatnya angka kriminalitas, tindakan anarkis. Semua itu dikarenakan terbatasnya ketersediaan berbagai sumberdaya (resources availability) yang berbanding terbalik dengan jumlah pengguna dan pemakai, menimbulkan berbagai cara kompetisi untuk mendapatkannya. Berbagai cara ditempuh hanya untuk bertahan hidup, sepertinya menjamurnya pedagang kaki lima hampir di setiap sudut kota, menggelar dagangan tanpa mengindahkan perda. Kerawanan sosial lainnya adalah sebagai akibat terjadinya ketidakseimbangan antara keterbatasan dan kemampuan kompetensi, akhirnya menimbulkan frustasi dan distorsi pada norma kehidupan di masyarakat. Hal ini ditandai dengan tingginya angka pengguna narkoba.













BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
            Dampak dari kepadatan penduduk di kota Jakarta antara lain adalah munculnya masalah kekurangan lahan penghijauan kota, kekurangan pangan, polusi udara, polusi air (terutama polusi air sungai) dan berbagai masalah lainnya.  
            Teori Malthus menyatakan bahwa populasi manusia bertambah lebih cepat daripada produksi makanan, sehingga menyebabkan manusia bersaing satu sama lain untuk memperebutkan makanan. Sehingga semakin bertambahnya populasi maka semakin meningkatnya persaingan untuk memenuhi kebutuhan, sedangkan produksi pangan yang tersedia tidak seimbang dengan laju pertambahan penduduk.  
            Cara mengatasi kepadatan penduduk di kota Jakarta dapat dilaksanakan dengan cara menekan pertumbuhan penduduk salah satunya merencanakan program KB, yang dilaksanakan bukan hanya oleh pemerintah tetapi masyarakat juga berpengaruh penting terhadap berjalannya program tersebut. Juga dapat dilakukan dengan progran Transmigrasi
4.2 Saran
            Sebaiknya masalah kepadatan penduduk yang berdampak pada daya dukung lingkungan, dapat diselesaikan dengan keikutsertaan semua kalangan dan kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan kota.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2010. Kajian Teori Malthus terhadap Populasi dan Pangan. http://mm08.student.ipb.ac.id/2010/06/20/kajian-teori-malthus-terhadap-populasi-dan-pangan-studi-kelembagaan-di-banjarmasin-kalimantan-selatan.html (tanggal akses 12 Maret 2011).
Widiyanto, Dwi I. 2011. Kepadatan. http://psikologikelompok.wordpress.com/2011/03/08/kepadatan.html
Babas. 2009. Teori Malthus. http://www.ba2s-breeder.blogspot.com/2009/06/teori-malthus.html (tanggal akses 12 Maret 2011)
Asbar, Ichrar. 2011. Diktat Ilmu Lingkungan. Samarinda : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mulawarman.
Soermarwoto, Otto. 1997. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta : Djambatan.
Suwasono, Heddy. 1994. Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Tarumingkeng, Rudi. 1994. Dinamika Populasi : Analisis Ekologi Kuantitatif. Jakarta :  Universitas Krida Mandala Press.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar